Manusia hidup di alam dunia berada diantara tiga keadaan; mendapatkan nikmat dari Allah, tertimpa musibah, atau terjerumus di dalam dosa.
Pada keadaan pertama, ketika Allah berikan nikmat kepadanya maka kewajiban seorang hamba adalah bersyukur kepada Allah. Syukur itu meliputi pengakuan di dalam hati bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah, dia memuji Allah dengan lisannya, dan dia gunakan nikmat itu dalam perkara yang dicintai dan diridhai-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Apa pun kenikmatan yang ada pada kalian maka itu adalah datang dari Allah.” (an-Nahl : 53)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan bersyukurlah kalian kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (al-Baqarah : 152)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan betapa sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (Saba’ : 13)
Abu Abdillah ar-Razi rahimahullah berkata: Sufyan bin ‘Uyainah berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya diantara bentuk syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat/kedurhakaan kepada-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya kebanyakan orang apabila diberi nikmat maka mereka justru kufur dan mengingkarinya, bahkan mereka menggunakannya bukan dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga hal itu menjadi sebab kebinasaan diri mereka. Adapun orang yang bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmat kepadanya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur pasti Aku akan tambahkan nikmat kepada kalian.” (Ibrahim : 7).” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh al-Fauzan, hal. 8)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Apabila Allah tabaraka wa ta’ala memberikan rizki kepada seorang hamba berupa kenikmatan maka dia pun bersyukur kepada Allah dengan istiqomah dalam ketaatan kepada-Nya dan melakukan amal-amal yang diridhai-Nya. Dan kenikmatan terbesar yang wajib untuk kita syukuri adalah ketika Allah berikan hidayah kepada kita untuk memeluk Islam. Maka segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan agama ini kepada kita. Dan kita tidak akan bisa mengikuti petunjuk itu apabila Allah tidak memberikan hidayah kepada kita.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh Shalih as-Suhaimi, hal. 3)
Pada keadaan yang kedua, ketika Allah takdirkan musibah menimpa dirinya maka kewajiban seorang hamba adalah bersabar dalam menghadapinya. Sabar adalah dengan menahan hati dari marah terhadap ketetapan Allah, menahan lisan dari mengucapkan kata-kata yang dibenci Allah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang tidak diridhai Allah.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, berkurangnya harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah : 155)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya urusannya semuanya adalah baik baginya. Dan tidaklah hal itu dijumpai kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia diberikan kesenangan/nikmat maka dia pun bersyukur. Maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa kesusahan maka dia pun bersabar. Maka hal itu pun menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Seorang mukmin ketika tertimpa musibah bersabar. Ketika mendapat nikmat dia menjadi orang yang bersyukur. Pada saat tertimpa musibah-musibah dia berhasil meraih pahala orang-orang yang sabar, dan pada saat mendapat kenikmatan dia menuai pahala orang-orang yang bersyukur. Oleh sebab itu dia beruntung dalam kedua keadaan ini.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 12)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah maka hamba yang paling dicintai adalah orang yang sabar dan pandai bersyukur. Yaitu orang yang apabila diberikan ujian maka dia bersabar, dan apabila diberi karunia maka dia pun bersyukur.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 462)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala bersama dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum maka Allah berikan ujian kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka dia akan mendapatkan keridhaan Allah. Dan barangsiapa yang murka maka dia akan mendapat kemurkaan Allah.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan)
Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat jika dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah jika dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika bermaksiat kepada Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 164)
Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui seorang pun kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang Allah berikan kelapangan pada rizkinya; maka Allah ingin melihat bagaimana dia menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘azza wa jalla cabut sebagian dari rizkinya; ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa bersabar.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 172)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Disebabkan besarnya urgensi kesabaran maka sesungguhnya kedudukan sabar itu -dalam iman- seperti kedudukan kepala bagi tubuh. Oleh sebab itulah Allah menyebutkan perkara sabar ini di dalam al-Qur’an pada lebih dari sembilan puluh ayat. Karena itu haruslah bersabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, demikian juga diwajibkan untuk sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah, dan harus bersabar pula dalam menghadapi takdir-takdir Allah…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh as-Suhaimi, hal. 3)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah hamba mendapatkan karunia yang lebih utama daripada kesabaran. Karena dengan sebab kesabaran itulah mereka masuk ke dalam surga.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 459)
Pada keadaan yang ketiga, ketika dia terjerumus dalam dosa maka dia pun segera beristighfar dan bertaubat kepada Allah.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang apabila melakukan suatu perbuatan keji atau menzalimi dirinya sendiri maka mereka pun mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang bisa mengampuni dosa selain Allah.” (Ali ‘Imran : 135)
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang murni.” (at-Tahrim : 8)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung.” (an-Nuur : 31)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Dosa adalah suatu hal yang pasti terjadi. Dosa pada anak Adam adalah perkara yang pasti ada. Dia pasti pernah terjerumus dalam doa. Dosa-dosa manusia itu sangatlah banyak. Akan tetapi hendaklah hamba itu senantiasa memperbanyak istighfar. Pemimpin anak keturunan Adam -yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah orang yang paling banyak beristighfar. Tidak ada diantara hamba-hamba Allah yang lebih banyak beristighfar daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang sudah diampuni Allah. Meskipun demikian beliau adalah orang yang paling sering beristighfar.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 13-14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mintalah ampunan kepada-Nya, sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari sampai seratus kali.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah jauh lebih bergembira terhadap taubat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang dari kalian yang kehilangan hewan tunggangannya yang lepas entah kemana di tengah padang pasir.” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala senantiasa membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di siang hari, dan Allah bentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di malam hari sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunggunya Allah ‘azza wa jalla senantiasa menerima taubat hamba selama nyawanya belum berada di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Apabila engkau berbuat dosa -wahai saudaraku hamba Allah- maka kembalilah kepada Rabbmu. Ingatlah bahwasanya engkau memiliki Rabb yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan mengetahui apa-apa yang tersembunyi di dalam dada. Dan bahwasanya Dia maha mengampuni dosa dan akan menerima taubat bagi orang-orang yang mau tulus bertaubat.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh as-Suhaimi, hal. 4)
Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Apakah kalian mengetahui apakah itu penyakit, obat, dan penyembuhnya?” mereka menjawab, “Tidak.” Beliau pun berkata, “Penyakit itu adalah dosa-dosa. Obatnya adalah istighfar. Dan penyembuhnya adalah kamu bertaubat dan tidak mengulanginya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/264)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah mengatakan, “Maka seorang insan selalu berada diantara nikmat yang kemudian dia bersyukur atasnya, atau terkena musibah sehingga dia pun bersabar, atau perbuatan dosa yang membuatnya lantas beristighfar. Apabila seorang insan selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat dari-Nya, bersabar apabila tertimpa musibah, dan bertaubat serta beristighfar apabila melakukan dosa; maka ketiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, hal. 6)
Wallahul musta’an.
————
Donasi Pembangunan Masjid
Kaum muslimin yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan masjid yang akan dijadikan sebagai pusat dakwah dan pembinaan mahasiswa dan masyarakat bisa menyalurkan donasi kepada panitia pendirian Graha al-Mubarok – Forum Studi Islam Mahasiswa – melalui rekening di bawah ini :
Bank Syariah Mandiri (BSM) no rek. 706 712 68 17
atas nama Windri Atmoko
Bagi yang sudah mengirimkan donasi mohon untuk mengirimkan konfirmasi kepada panitia di no :
0857 4262 4444 (sms/wa)
Dengan format konfirmasi sbb :
Nama, alamat, tanggal transfer, besar donasi, pembangunan masjid
Contoh : Farid, Jogja, 25 Maret 2016, 1 Juta, Pembangunan Masjid
Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat.
– Panitia Pendirian Graha al-Mubarok
– Forum Studi Islam Mahasiswa (FORSIM)
– Ma’had al-Mubarok
Alamat Sekretariat : Wisma al-Mubarok 1. Jl. Puntadewa, Ngebel RT 07 / RW 07 Tamantirto Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah selatan kampus terpadu UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) – barat asrama putri (unires) UMY – selatan SD Ngebel.
E-mail : forsimstudi@gmail.com
Fanspage Facebook : Kajian Islam al-Mubarok
Website : www.al-mubarok.com
NB : Insya Allah dalam waktu dekat ini akan diurus proses perataan tanah wakaf dan hal-hal yang berkaitan dengan wakaf dan pembentukan yayasan yang akan mengelola masjid tersebut.
Informasi seputar pendirian masjid dan wakaf tanah bisa menghubungi :
0896 5021 8452 (Yudha, Ketua Umum FORSIM)
———